Powered By Blogger

Senin, 19 Juni 2017

MAKALAH FIQHI TENTANG METODE PEMBAGIAN HARTA WARISAN

MAWARIS
(Metode Pembagian Harta Warisan)


 
MAKALAH
Didiskusikan dalam diskusi kelas pada mata kuliah
 Fiqhi Semester 4 Jurusan Pendidikan Agama Islam
OLEH:
Kelompok 7
1.      HENDRA                                           20100115148
2.      SULMIATI SULEMANG                    20100115141
3.      MUSLIMAH                                      20100115147
            
Dosen Mata Kuliah:

Dr. H. M. Mawardi Djalaluddin. Lc, M.Ag

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2017

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah dan inayah Nya atas terselesaikannya tugas makalah Fiqhi tentang Mawaris ini.
Shalawat beserta salam semoga tetap kepangkuan junjungan Rasulullah Muhammad SAW. Sebagai pencerahan kehidupan umat manusia di jagat raya ini. Amiin.
Setelah terselesainya tugas Pengembangan Kurikulum dengan judul: “Metode Pembagian Harta Warisan”. Penulis harapkan semoga karya tulis ini bermanfaat bagi mahasiswa dalam mempelajari, menelaah dan memahaminya. Harapan kami, semoga makalah atau resuman ini bisa membantu untuk pembelajaran kita semua sesuai dengan yang diharapan. Amiin.
Pada akhirnya hanya kepada Allah SWT, penulis berlindung dan memohon tumpahan rahmat-Nya. Amiin.
Wassalamu’alaikm Wr. Wb

Makassar, 5 Mei 2017

Penulis
 BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Syari’at Islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya. Agama Islam menetapkan hak milik seseorang atas harta, baik laki-laki atau perempuan melalui jalan syara’. seperti perpindahan hak milik laki-laki dan perempuan di waktu masih hidup ataupun perpindahan harta kepada para ahli warisnya setelah ia meninggal dunia.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Namun, seiring berkembangnya zaman, masalah kewarisan dikembangkan secara kompleks oleh para fuqoha. Dalam kewarisan tersebut mereka mengelompokkan pihak-pihak dalam hal warisan sebaagai berikut: Ahli waris yang mendapatkan bagian sisa (Ashabah), Dzawil Arham, Ahli Waris yang Terhijab dsb. Untuk lebih jelasnya, akan kami uraikan di bawah.

B.      Rumusan Masalah
1.       Apa pengertian mawaris?
2.       Apa-apa sebab mendapatkan warisan serta halangannya?
3.       Bagaimana ketentuan ahli waris?
4.       Bagaimana metode pembagian harta warisan?

  

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Mawaris
Secara bahasa mawaris merupakan bentuk jamak dari kata miras. Artinya harta peninggalan si mayit yang diwariskan kepada ahli warisnya. Secara istilahnya mawaris, dapat diartikan dengan ilmu yang membahas tentang para ahli waris, bagian-bagian yang ditentukannya, serta cara pembagian harta peninggalan tersebut untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Ilmu mawaris disebut juga dengan ilmu faraid.
Untuk memahami ketentuan tentang mawaris, kita perlu menyimak dalil naqli dalam ayat Al-Qur’an, yang berbunyi: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya. Dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (Q.S. an-nisa’ [4]:7)
Selain itu juga ada tiga ayat yaitu (an-nisa’: 11-12) dan (an-nisa’: 176), yang menjelaskan asas ilmu faraid, didalamnya berisi aturan dan tata cara yang berkenaan dengan hak dan pembagian waris secara lengkap. Allah tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli waris. Bahkan dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna Dia menentukan pembagian hak setiap ahli waris dengan adil serta penuh kebijaksanaan. Dia menetapkan hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan dan kehidupan manusia, meniadakan kedzaliman, agar tidak ada perselisihan-perselisihan diantara berbagai pihak, serta tidak membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hati orang-orang yang lemah. Dengan pembagian harta warisan secara adil, diharapkan para ahli waris dapat memanfaatkan harta bagiannya secara baik untuk mencukupi kebutuhan hidup dan sebagai sarana beribadah kepada Allah. Selain itu, menerapkan hukum mawaris dengan sendirinya berarti telah melaksanakan hokum Allah yang dijelaskan secara terperinci dalam Al-Qur’an.
Adapun rukun dalam waris ada tiga, yaitu:
1.       Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
2.       Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
3.       Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.


B.      Sebab-sebab Mendapatkan Warisan
Ada beberapa ketentuan yang menyebabkan seseorang memiliki hak untuk saling mewarisi. Beberapa ketentuan tersebut terdiri atas tiga sebab, yaitu:
1.       Hubungan darah atau kekerabatan
Hubungan ini dikenal juga dengan nasab hakiki, yaitu hubungan keluarga atau orang yang mewarisi dengan orang yang diwarisi. Seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya. Hal ini ditegaskan dalam ayat yang artinya, “orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. al-Anfal:75).
2.       Hubungan perkawinan
Hubungan perkawinan sebagai penyebab pewarisan sebagaimana termuat dalam surah an-Nisa’[4] ayat 11. Hubungan perkawinan terjadi jika akad telah dilakukan secara sah antara suami dan istri. Meskipun diantara keduanya belum pernah melakukan hubungan intim, hak pewaris tetap berlaku. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bias menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
3.       Hubungan antara budak dengan yang memerdekakannya
Hukum ini mungkin terjadi pada zaman dahulu. Zaman perbudakan. Dalam fikih islam hubungan ini diistilahkan dengan wala’. Seseorang yang telah memerdekakan budak, jika budak itu telah merdeka dan memiliki kekayaan jika ia mati yang membebaskan budak berhak mendapatkan warisan. Akan tetapi, jika yang mati adalah yang membebaskannya, budak yang telah bebas tersebut tetap tidak berhak mendapat warisan. Sebagaiman hadis berbunyi,”Hak wala’ itu hanya bagi orang yang telah membebaskan hamba sahayanya.”(H.R. Bukhari dan Muslim).
Hak untuk mendapatkan warisan diatas tersebut juga dapat hilang karena sebab-sebab tertentu. Beberapa hal yang menjadi penghalang untuk mendapatkan warisan yaitu:
1)      Ahli waris sengaja melakukan pembunuhan kepada pewaris.
2)      Perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris.
3)      Ahli waris bersetatus sebagai budak atau belum merdeka.
Adapun syarat-syarat dalam waris adalah:
1)      Meninggalkan seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hokum (misalnya dianggap telah meninggal).
2)      Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
3)      Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.


C.      Ketentuan Ahli Waris
Ahli waris yang ditinggal mati pewaris mungkin saja jumlahnya sangat banyak. Selain itu, antara mereka masing-masing mungkin memiliki derajat atau tingkatan yang berbeda-beda. Derajat ini dapat berdasakan hubungan keturunan, saudara atau perwalian. Oleh karena itu disini ada beberapa metode pembagian harta warisan, yaitu:
1.       Ashabul Furud
Yaitu orang yang berhak mendapatkan harta warisan dengan besar bagian yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadis Rasullullah saw. Yang akan mendapatkan bagian dari harta warisan sebanyak 25 orang yaitu 15 dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak perempuan.
a.       Pihak laki-laki
·         anak laki-laki dari yang meninggal
·         anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu dari pihak anak laki-laki, terus dalam garis kebawah, sepanjang pertaliannya melalui keturunan laki-laki)
·         ayah
·         kakek (ayah dari ayah), terus dalm garis keatas sepanjang pertaliannya melalui keturunan laki-laki.
·         saudara laki-laki (seibu sebapak)
·         saudara laki-laki (sebapak saja)
·         saudara laki-laki (seibu saja)
·         kemenakan (anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak)
·         kemenakan (anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja)
·         paman (saudara laki-laki bapak yang seibu sebapak)
·         paman (saudara laki-laki bapak yang sebapak saja)
·         sepupu (anak laki-laki dari paman ayah yang seibu sebapak)
·         sepupu (anak laki-laki dari paman ayah yang sebapak saja)
·         suami
·         laki-laki yang memerddekakan si mayit dari perbudakan (yaitu mantan majikannya), jika si mayit tidak meninggalkan ahli waris.
b.      Pihak Perempuan
·         anak perempuan
·         anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya dalam garis kebawah, sepanjang pertaliannya dengan si mayit masih melalui kerabat laki-laki saja.
·         ibu
·         nenek (ibu dari bapak)
·         nenek (ibu dari ibu)
·         saudara perempuan yang seibu sebapak.
·         saudara perempuan yang sebapak saja.
·         saudara perempuan yang seibu saja.
·         istri.
·         perempuan yang memerdekakan si mayit dari perbudakan (yaitu mantan majikannya), jika simayit tidak meninggalkan ahli waris.
Apabila semua ahli waris, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan ada, yang berhak mendapat warisan yaitu:
1)      Ibu.
2)      Bapak.
3)      Anak laki-laki
4)      Anak perempuan.
2.       ‘Asabah (penerima sisa bagian)
‘Asabah berarti ahli waris yang menerima sisa bagianharta atau yang menghabiskanseluruh harta warisan jika ashabul furudnya tidak ada. Jika ada ashabul furudnya maka ‘asabah hanya mendapatkan sisa harta yang masih ada, tetapi bias juga tidak akan mendapatkanbagian sama sekali.
Ahli waris ‘asabah ada tiga macam, yaitu: ‘asabah binafsih atau sabah dengan dirinya sendiri, ‘asabah bil gair atau melalui perantara orang lain, dan ‘asabah ma’al gair atau asabah bersama-sama orang lain.
1)      Kelompok ‘asabah binafsi Yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima bagian ashabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah (orang perempuan yang memerdekakan hamba sahaya), asabah binafsi tersebut yakni:
·         Anak laki-laki
·         Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
·         Bapak.
·         Kakek.
·         Saudara laki-laki sekandung.
·         Saudara laki-laki sebapak.
·         Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.
·         Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
·         Paman yang sekandung dengan bapak.
·         Paman yang sebapak dengan bapak.
·         Anak laki-laki dari paman yang sekandung dengan bapak.
·         Anak laki-laki dari paman sebapak.
·         Orang yang memerdekakan orang yang meninggal.
2)      Kelompok ‘asabah bil gair , Yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris yang telah menerima bagian sisa apabila ahli waris penerima sisa tidak ada maka ia tetap menerima bagian tertentu ahli waris penerima ashabah bi al-ghair tersebut adalah :
·         Anak perempuan bersama anak laki-laki.
·         Cucu perrempuan bersama cucu laki-laki.
·         Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung.
·         Saudara perempuan sebapak bersama saudara laki-laki sebapak.
3)      Kelompok ‘asabah ma’al gair Yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris lain tidak ada, maka ia menerima bagian tertentu (al-furudl al-muqaddarah). Ahli waris yang menerima bagian ashabah ma’a al-ghair adalah :
·         Saudara perempuan sekandung, seorang atau lebih bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki baik seorang atau lebih.
·         Saudara perempuan sebapak, seorang atau lebih bersama anak perempuan atau cucu perempuan seorang atau lebih.
Ashabah karena sebab, Yang dimaksud para ashabah karena sebab ialah orang-orang yang memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun perempuan). Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah satu ahli warisnya, dan sebagai ashabah. Tetapi pada masa kini sudah tidak ada lagi.
3.       Zawil arham
Secara umum, Dzawil Arham berarti orang yang memiliki hubungan kekerabatan (hubungan darah) dengan orang yang meninggal, baik tergolongashabil furudh(pemilik bagian pasti) ataupun ‘ashabah, berdasarkan QS. Al- anfal :75 : “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itusebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah.”
Dalam ilmu Faraidh, Dzawil Arham adalah kerabat (famili), baik laki-laki ataupun perempuan yang tidak memiliki bagian tertentu dan ‘ashabah.
M. Ali Ash-Shabuni menjelaskan bahwa, Dzawil Arham adalah kerabat mayat yang tidak termasuk ashhabul furudh ataupun ‘ashabah,seperti saudara laki-laki ibu (khal), saudara perempuan ibu (khalal), saudara perempuan ayah (‘amah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan.
Ulama Hanafiah, Hanabilah, sebagian ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah mangatakan bahwa apabila tidak dijumpai seorang pun dari ahli waris yang mempunyai bagian tertentu atau ‘ashabah, maka tirkah diserahkan sepenuhnya kepada Dzawil Arham sebagai warisan. Berdasarkan QS. Al-Anfal:75 sebagaimana disebutkan diatas dan QS. An-Nisa:7 yang berbunyi :“Bagi laki-laki ada hak dan bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya”.
M. Ali Ash-Shabuni menegaskan  bahwa jika mayat tidak meninggalkan ahli waris dari Ashhabul furudh dan ashabah, maka yang berhak mewarisi harta warisannya adalah Dzawil Arham. Kewarisan dzawil Arham ini didasaekan pada madzhab Hambali, Hanafi, Maliki dan sekarang sudah menjadi undang-undang perdata islam(al-ahwal asy-syaksiyyah).
Dilain pihak,sebagian ulama syafi;iyah mengatakan bahwa dzawil arham tidak dapat diwarisi, karena tidak disebutkan didalam Al-Qur’an, seandainya mereka berhak mewarisi tentulah ahli wala’ (yang memerdekakan) tidak didahulukan atas mereka.
Ada tiga cara pewarisan dzawil arham, yaitu
a)      Cara Al-Rahm, Cara al-rahm disebut juga dengan cara al-taswiyah. Kelompok ini mengatakan bahwa tirkah dibagikan kepada dzawil arham secara merata, tidak membedakan antara kerabat yang dekat dengan yang jauh, antara laki-laki dan perempuan, mereka memiliki hal yang sama.
b)      Cara Ahli Tanzil, Madzhab ini menyebutkan bahwa dzawil arham dapat menduduki  posisi ahli waris asal (induknya), baik sebagai ashab al-furudh atau ashabah bagaikan mereka masih hidup, kemudian warisan dibagikan kepada dzawil arham (furu’) dengan ketentuan 2:1 (laki-laki dua kali lipat dari perempuan) dan ketentuan warisan lainnya.
c)       Cara Ahlu al-Qarabah, Disebut Ahl al-Qarabah sebab prinsip pembagian waris untuk dzawil arham ini berdasarkan jihat (jalur) yang lebih dekat, yakni mereka mendahulukan pewaris pada orang yang lebih dekat dan seterusnya sebagai qiyasan pada pewaris ‘ashabah.
Dzawil arham dapat menerima bagian sebagai ahli waris pengganti atau karena tidak ada dzawil furudh dan atau ashabah yang telah disebutkan diatas mereka adalah:
1)      Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan yang berkedudukan sama denagn anak perempuan yakni apabila anak perempuan mendapat ½ maka ia juga mendapat ½ (separo).
2)      Anak (laki-laki atau perempuan ) dari cucu perempuan yang berkedudukan sama dengan cucu perempuan.
3)      Kakek (ayah dari ibu) kedudukannya sama dengan ibu
4)      Nenek dari pihak kakek (ibu dari kakek yang tidak menjadiahli waris seperti halnya nenek dari ibu) kedudukannya sama dengan ibu.
5)      Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung atau sebapak. Kedudukannya sama dengan saudara laki-laki.
6)      Anak (laki-laki atau perempuan) dari saudara seibu. Kedudukannya sama dengan saudara seibu.
7)      Anak (laki-laki atau perempuan) dari saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu. Kedudukannya sama dengan saudara perempuan sekandung atau seayah.
8)      Bibi (saudara perempuan dari ayah) dan saudara perempuan dari kakek. Kedudukannya sama dengan ayah.
9)      Paman yang seibu dengan ayah dan saudara laki-laki yang seibu dengan kakek. Kedudukannya sama dengan ayah.
10)   Saudara (laki-laki atau perempuan) dari ibu. Kedudukannya sama dengan ibu.
11)   Turunan dari rahim-rahim tersebut diatas.
12)   Mereka tersebut dapat menerima warisan dengan Syarat (a.)Sudah tidak ada asshab al-furudh atau ‘ashabah sama sekali. Jika ada sisa warisan, maka di radd-kan (dikembalikan) kepada ahli waris yang ada, tidak diberikan kepada dzawil furudh, atau (b.) bersama dengan salah seorang suami-istri.

4.       Hijab
Hijab secara harfiah berarti satir, penutup atau penghalang. Dalam fiqh mawaris, istilah ini digunakan untuk menjelaskan ahli waris yang hubungan kekerabatannya jauh, yang kadang-kadang atau seterusna terhalang hak-hak kewarisanya oleh ahli waris yang lebih dekat. Ahli waris yang terhalangi disebut hajib, sedangkan ahli waris yang terhalang disebut dengan mahjub. Keadaan yang terhalangi disebut hijab.
Hijab dilihat dari segi akibatnya, hijab dibagi 2 macam:
a.       Hijab Nuqson, Hijab Nuqson yaitu menghalangi yang berakibat mengurangi bagian ahli waris yang mahjub, seperti suami, yang seharusnya menerima bagian 1/2, karena bersama anak baik laki-laki maupun perempuan, bagianya terkurangi menjadi 1/4. Ibu yang sedianya menerima bagian 1/3, karena bersama dengan anak, atau saudara 2 orang atau lebih, terkurangi bagianya menjadi 1/6.
b.      Hijab Hirman, Hijab Hirman dalah hijab yang menghalangi secara total. Akibatnya hak-hak waris ahli waris yang termahjub tertutup sama sekali denga adanya ahli waris yang menghalangi. Misalnya, saudara perempuan kandungyang semula berhak menerima bagian 1/2, tetapi karena bersama dengan anak laki-laki, menjadi tertutup sama sekali atau tidak mendapat bagian.
5.       ‘Aul
Al-’aul adalah bertambahnya pembagi (jumlah bagian fardh) sehingga menyebabkan berkurangnya bagian para ahli waris. Hal ini disebabkan banyaknya ashhabul furudh sedangkan jumlah seluruh bagiannya telah melebihi nilai 1, sehingga di antara ashhabul furudh tersebut ada yang belum menerima bagian yang semestinya. Maka dalam keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pembaginya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka menjadi berkurang.
Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat 1/2 dapat berubah menjadi 1/3 dalam keadaan tertentu, seperti bila pembaginya dinaikkan, dari 6 menjadi 9. Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (1/2) hanya memperoleh 3/9 (1/3). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain, bagian mereka dapat berkurang manakala pembaginya naik atau bertambah.
Latar Belakang Terjadinya ‘Aul Pada masa Rasulullah saw. sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. kasus ‘aul tidak pernah terjadi. Masalah ‘aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar bin Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata, "Orang yang pertama kali menambahkan pembagi (yakni ‘aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan ketika fardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."
Riwayat kejadiannya adalah: Seorang wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua orang saudara perempuan sekandung. Yang masyhur dalam ilmu faraid, bagian yang mesti diterima suami adalah 1/2, sedangkan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3. Dengan demikian, berarti pembilangnya melebihi pembaginya, karena 1/2 + 2/3 = 7/6. Namun demikian, suami tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara perempuan sekandung, mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya.
Menghadapi hal demikian Umar pun berkata, "Sungguh aku tidak mengerti, siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan. Sebab bila aku berikan hak suami, pastilah saudara perempuan sekandung pewaris akan dirugikan karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu hak kedua saudara perempuan sekandung pewaris maka akan berkuranglah bagian suami." Umar kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat Rasulullah saw.. Di antara mereka ada Abbas bin Abdul Muthalib dan Zaid bin Tsabit mengusulkan kepada Umar agar menggunakan metode ‘aul. Umar menerima anjuran tersebut dan berkata: "Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya." Para sahabat menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang ‘aul (penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati sebagian besar sahabat Nabi saw., kecuali Ibnu ‘Abbas yang tidak menyetujui adanya ‘aul ini.
Pembagi yang tidak dapat di-’aul-kan ada empat, yaitu 2, 3, 4, dan 8.
·         Contoh – Pembagi 2
Seseorang wafat dan meninggalkan suami serta seorang saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: Bagian suami 1/2, dan bagian saudara perempuan sekandung 1/2. Dalam hal ini, pembaginya adalah 2. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.
·         Contoh – Pembagi 3
Seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: Ibu mendapat 1/3 bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pembaginya adalah 3. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.
·         Contoh – Pembagi 4
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara laki-laki sekandung, dan saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: Bagian istri 1/4, sedangkan sisanya (yakni 3/4) dibagi dua antara saudara laki-laki sekandung dengan saudara perempuan sekandung, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Dalam hal ini pembaginya adalah 4. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.
·         Contoh – Pembagi 8
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak perempuan, dan saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya seperti berikut: pembaginya dari 8, bagian istri 1/8 berarti satu bagian, anak 1/2 berarti empat bagian, sedangkan saudara perempuan sekandung menerima sisanya, yakni 3/8. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.

6.       Radd
Ar-radd adalah berkurangnya pembagi (jumlah bagian fardh) dan bertambahnya bagian para ahli waris. Hal ini disebabkan sedikitnya ashhabul furudh sedangkan jumlah seluruh bagiannya belum mencapai nilai 1, sehingga disana ada harta warisan yang masih tersisa, sementara tidak ada seorangpun ashabah disana yang berhak menerima sisa harta waris. Maka dalam keadaan seperti ini kita harus menurunkan atau mengurangi pembaginya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka menjadi bertambah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ar-radd adalah kebalikan dari al-’aul.
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat seperti di bawah ini:
·         Adanya ashhabul furudh
·         Tidak adanya ashabah
·         Adanya sisa harta waris
Bila dalam pembagian harta waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd tidak akan terjadi.
Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang, yakni:
·         Anak perempuan
·         Cucu perempuan keturunan anak laki-laki
·         Saudara perempuan sekandung
·         Saudara perempuan seayah
·         Ibu kandung
·         Nenek sahih (ibu dari bapak)
·         Saudara perempuan seibu
·         Saudara laki-laki seibu
Adapun mengenai ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk ashhabul furudh dalam beberapa keadaan tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Sebab dalam keadaan bagaimanapun, bila dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya, maka tidak mungkin ada ar-radd, karena keduanya akan menerima waris sebagai ashabah.
Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd hanyalah suami dan istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan tetapi karena kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan. Dan kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itu mereka (suami dan istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya mendapat bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris, suami atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.
Ada empat macam Ar-radd, dan masing-masing mempunyai cara atau hukum tersendiri. Keempat macam Ar-radd tersebut adalah:
a.       Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang sama, tanpa adanya suami atau istri.
b.      Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang berbeda-beda, tanpa adanya suami atau istri.
c.       Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang sama, dan dengan adanya suami atau istri
d.      Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri
·         Hukum Keadaan Pertama
Apabila dalam suatu keadaan ahli warisnya hanya terdiri dari ashhabul furudh dengan bagian yang sama, misalnya, semuanya hanya berhak mendapat bagian setengah, atau seperempat, dan seterusnya, dimana dalam keadaan itu tidak terdapat suami atau istri, maka cara pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris (total orangnya).
Contoh 1: Seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka masing-masing dari mereka mendapat 1/3 bagian. Pembaginya adalah tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka yang sesuai fardh adalah 2/3 dibagi secara rata, dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris yang mendapatkan bagian yang sama.
Contoh 2: Seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara perempuan sekandung, maka masing-masing dari mereka mendapat 1/10 bagian. Hal ini karena bagian mereka sama secara fardh, yakni 2/3 dibagi secara rata. Maka pembaginya adalah 10, disebabkan bagiannya sama, dan karena jumlah orangnya adalah 10.
Contoh 3: Seseorang wafat dan meningalkan seorang nenek dan saudara perempuan seibu. Maka masing-masing dari mereka mendapat 1/2 bagian. Hal ini karena bagian mereka sama secara fardh, yakni nenek 1/6 dan saudara perempuan seibu 1/6. Maka pembaginya adalah dua, disebabkan bagiannya sama, dan karena jumlah orangnya hanya dua.
·         Hukum Keadaan Kedua
Apabila dalam suatu keadaan terdapat bagian ashhabul furudh yang beragam, dimana di sana tidak ada salah satu dari suami atau istri, maka nilai pembagi diambil dari nilai pembilangnya, bukan dihitung dari jumlah ahli waris (per kepala).
Contoh 1: Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya, bagi ibu 1/6, untuk kedua saudara laki-laki seibu 1/3. Perhatikan perhitungannya dibawah ini:Perhatikan nilai 3/6 diatas, ia kurang dari satu. Maka pembagi diturunkan dari 6 menjadi 3. Maka bagian ibu adalah 1/3 dan dua orang saudara laki-laki seibu 2/3.
Contoh 2: Seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan serta seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya, bagi seorang anak perempuan 1/2, untuk seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6. Perhatikan perhitungannya dibawah ini: Maka pembaginya dari 4, karena jumlah pembilangnya adalah 4. Dengan demikian bagian seorang anak perempuan adalah 3/4 dan seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/4.
·         Hukum keadaan Ketiga
Apabila para ahli waris semuanya dari ashhabul furudh yang mempunyai bagian yang sama, disertai salah satu dari suami atau istri, maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan pembaginya ashhabul furudh yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala.
Contoh 1: Seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka suami mendapatkan 1/4 bagian, dan sisanya 3/4 dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya secara pas, yakni sebagai berikut:
-          Suami: 2/8
-          Anak perempuan masing-masing mendapatkan: 3/8
Contoh 2: Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, dua orang saudara laki-laki seibu, serta seorang saudara perempuan seibu. Maka istri mendapatkan 1/4 bagian, dan sisanya 3/4 dibagikan kepada dua orang saudara laki-laki seibu dan seorang saudara perempuan seibu secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini tidak memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya secara pas, yakni sebagai berikut:
-          Istri: ¼
-          Saudara seibu masing-masing mendapatkan: 1/3
Contoh 3: Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, serta lima orang anak perempuan. Maka istri mendapatkan 1/8 bagian, berarti mendapat satu bagian, sedangkan sisanya 7/8 merupakan bagian kelima anak perempuan dan dibagi secara merata di antara mereka, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya secara pas, yakni sebagai berikut:
-          Istri: 5/40
-          Anak perempuan masing-masing mendapatkan: 7/40
·         Hukum keadaan Keempat
Apabila dalam suatu keadaan terdapat ashhabul furudh yang bagiannya berbeda-beda, dan di dalamnya terdapat pula suami atau istri, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah suami atau istri, kemudian sisanya diberikan kepada ashhabul furudh lainnya menurut bagiannya masing-masing.
Contoh 1: Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka istri mendapatkan 1/4, dan sisanya 3/4 dibagikan kepada nenek dan dua orang saudara perempuan seibu menurut bagiannya masing-masing. Perhatikan cara mencari bagiannya sebagai berikut:
Nenek + Saudara Perempuan Seibu: Pembagi diatas di radd kan dari 6 menjadi 3, sehingga bagian nenek adalah 1/3 dan dua orang saudara perempuan seibu 2/3. Pembagian akhir:
1)      Nenek = 1/3 x 3/4 = 3/12. Nilai 3/4 ini diambil dari sisa bagian setelah diberikan kepada istri.
2)      Dua orang saudara perempuan seibu = 2/3 x 3/4 = 6/12, sehingga masing-masing saudara perempuan seibu mendapatkan 3/12.
3)      Istri = 1/4 x 3/3 = 3/12. Nilai 3/3 ini diambil dari pembagi yang baru yang telah di radd kan.
Contoh 2: Seseorang wafat meninggalkan istri, dua orang anak perempuan, dan ibu. Bagian istri adalah 1/8, dan sisanya 7/8 diberikan kepada dua orang anak perempuan dan ibu menurut bagiannya masing-masing. Perhatikan cara mencari bagiannya sebagai berikut:
Anak Perempuan + Ibu: Pembagi diatas di radd kan dari 6 menjadi 4, sehingga bagian dua orang anak perempuan adalah 3/4 dan ibu 1/4. Bagian 2 orang anak perempuan adalah 3/4, karena itu harus ditashih, sehingga bagiannya menjadi 3/4 x 2/2 = 6/8. Dengan demikian bagian ibu pun menjadi 1/4 x 2/2 = 2/8. Bagian istri menjadi 1/8 x 2/2 = 2/16. Pembagian akhir:
1)      Dua orang anak perempuan = 6/8 x 7/8 = 42/64, sehingga masing-masing anak perempuan mendapatkan 21/64.
2)      Ibu = 2/8 x 7/8 = 14/64.
3)      Istri = 2/16 x 4/4 = 8/64.

D.      Metode Perhitungan Harta Warisan
Metode usul masail ialah suatu cara menyelesaikan pembagian harta pusaka dengan mencari dan menetapkan asal masalah dari fardh-fardh para ahli waris. Metode ini adalah salah satu metode yang sering dipakai oleh para ahli faraidh dalam menyelesaikan masalah pembagian harta warisan.
 Cara-cara menyelesaikan masalah warisan menurut sistem usul masail ini ada beberapa langkah, diantaranya yaitu :
1.       Sebelum menetapkan usul masail adalah menyeleksi/mencari para ahli waris.
·         Siapa saja ahli waris yang termasuk dzawil arham dan ashab al-faraid.
·         Siapa saja ahli waris penerima Ashabah
·         Siapa saja ahli waris yang mahjub.
·         Menetapkan bagian-bagian yang diterima oleh masing-masing ashab al-furud.
Misalnya : Apabila seorang meninggal ahli warisnya terdiri dari :
1)      Suami
2)      Nenek garis ibu
3)      2 anak perempuan
4)      Anak laki-laki saudara ibu
5)      Ibu
6)      Cucu perempuan garis perempuan
7)      Bapak
8)      3 saudara seibu
9)      Kakek
10)   Paman
Dari seleksi yang dilakukan dapat diketahui bahwa ahli waris yang termasuk dzawil arham adalah :
1)      Cucu perempuan garis perempuan
2)      Anak laki-laki saudara ibu
Adapun ahli waris yang terhalang (ashabah) adalah :
1)      3 saudara seibu, terhalang oleh anak perempuan dan bapak.
2)      Nenek garis ibu, terhalang oleh ibu dan bapak.
3)      Paman, terhalang oleh bapak.
4)      Kakek terhalang oleh bapak.
Jadi ahli waris yang menerima bagian dan besarannya adalah :
1)      Suami                                         1/4 (karena ada anak)
2)      2 anak perempuan                   2/3 (karena dua orang)
3)      Ibu                                               1/6 (karena ada anak)
4)      Bapak                                          1/6 + ashabah (karena bersama anak perempuan)
2.       Setelah diketahui bagian masing-masing ahli waris adalah mencari angka (kelipatan persekutuan terkecil) yang dapat dibagi oleh masing-masing angka penyebut dari bagian ahli waris.
Misalnya :
Bagian ahli waris 1/2 dan 1/3               =   asal masalahnya 6
Bagian ahli waris 1/4, 2/3 dan 1/6       =   asal masalahnya 12
Bagian ahli waris 1/8 dan 2/3                =   asal masalahnya 24
Ada beberapa istilah yang dapat membantu memudahkan pencarian angka asal masalah yaitu :
a.       Tamasul atau Mumasalah.Tamasul dalam bahasa arab berarti at-tasyabuh yang artinya adalah “sama bentuknya”. Sedangkan menurut istilah yaitu apabila angka penyebut masing-masing bagian sama besarnya. Maka angka asal masalahnya adalah mengambil angka tersebut. Misalnya :
Ahli waris : 2 orang sekandung, 2 saudara seibu
Bagian : 2/3, 1/3
Angka Asal masalah : 3
b.      Tadakhul atau Mudakhalah. Tadakhul dalam bahasa arab berasal dari kata dakhala yang berarti “masuk”. Sedangkan menurut istilah yaitu apabila angka penyebut pada bagian ahli waris, yang satu bisa dibagi dengan penyebut yang lain. Angka asal masalahnya mengambil penyebut yang besar.
Misalnya : 
Ahli waris istri dan anak perempuan, istri 1/8 dan anak 1/2 maka asal masalahnya adalah  8.
c.       Tawafuq atau Muwafaqah. Tawaquf dalam bahasa arab berarti bersatu. Sedangkan menurut ilmu faraid adalah apabila angka penyebut pada bagian yang diterima ahli waris tidak sama, angka penyebut terkecil tidak bisa untuk membagi angka penyebut yang besar, akan tetapi masing-masing angka penyebut dapat dibagi oleh angka yang sama.
                Misalnya :
Ahli waris : istri, ibu, dan anak perempuan
Bagian : 1/8, 1/6, dan 1/2
Angka Asal masalah : 24
Angka asal masalahnya adalah mengalikan angka penyebut yang satu dengan hasil bagi angka penyebut yang lain. 8 x (6 : 2) = 24 atau 6 x 8 : 2) = 24
d.      Tabayun atau Mubayanah.Tabayun dalam bahasa arab berarti tabaa’ud yakni “saling berjauhan atau saling berbeda”. Sedangkan dalam ilmu faraid adalah apabila angka penyebut dalam bagian ahli waris masing-masing tidak sama, yang satu tidak bisa membagi angka penyebut yang lain dan masing-masing tidak bisa dibagi oleh satu angka yang sama. Maka asal masalahnya adalah dengan cara mengalikan angka penyebut masing-masing.
Misalnya :
Apabila ahli waris terdiri dari suami dan ibu, suami 1/2 dan ibu 1/3. Maka asal masalahnya adalah 2x3 = 6.
Apabila ahli waris terdiri dari istri dan 2 anak perempuan, istri 1/8 dan 2 anak perempuan 2/3 maka asal masalahnya adalah 8x3 = 24.[5]
Metode Tashih Al-Masail ialah mencari angka asal masalah yang terkecil agar dapat dihasilkan bagian yang diterima ahli waris tidak berupa angka pecahan.
Metode Tashih Al-Masail ini hanya digunakan apabila bagian yang diterima ahli waris berupa angka pecahan. Oleh karena itu, langkah ini hanya semata-mata untuk memudahkan perhitungan dalam pembagian warisan.
Adapun langkah-langkah yang perlu diambil dalam Tashih Al-Masail adalah memperhatikan :
1)      Pecahan pada angka bagian yang diterima ahli waris (yang terdapat dalam satu kelompok ahli waris).
2)      Pecahan pada angka bagian yang diterima ahli waris, terdapat pada lebih dari satu kelompok ahli waris.
Selanjutnya untuk menetapkan angka Tahsis al-masailnya ditempuh dengan :
1)      Mengetahui jumlah person (kepala) penerima warisan dalam satu kelompok ahli waris.
2)      Mengetahui bagian yang diterima kelompok tersebut.
3)      Mengalikan jumlah person dengan bagian yang diterima kelompoknya.
Apabila dalam kasus pembagian warisan, ahli warisnya terdiri dari ashab al-furud dan ashab al-ashabah yang perlu diperhatikan adalah :
1)      Menetapkan berapa bagian masing-masing ashab al-furud.
2)      Menetapkan ahli waris ashabah yang lebih dahulu berhak mendapat bagian dengan ketentuan, diantaranya yaitu :
·         Jika masing-masing ahli waris sebagai asabah binafsi, maka ahli waris yang terdekatlah yang menerima bagian.
·         Jika ada ashabah bi al-ghair, maka mereka bergabung menerima ashabah, seperti anak perempuan bergabung dengan anak laki-laki. Cucu perempuan bersama cucu laki-laki. Saudara perempuan sekandung bersama dengan saudara laki-laki sekandung, demikian juga seayah.
·         Jika ada ashabah ma’ al-ghair berarti terjadi perubahan, yang semula ashab al-furud menjadi penerima ashabah tetapi ahli waris penyebab (mu’assib)nya tetap menerima bagiannya semula.
3)      Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kadang-kadang ahli waris ashabah menerima bagian besar, kadang-kadang menerima sedikit dan tidak jarang mereka tidak mendapatkan bagian sama sekali, karena habis diberikan kepada ashab al-furud.





BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Hukum Kewarsa Islam bersumber dari Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Muhammad agar diamalkan oleh umat islam. Al-Qur’an kadang-kandang berisi tentang pokok-pokoknya saja tentang kewarisan yang membutuhkan penjelasan serta contoh yang diberikan oleh Rasullullah. Berhubung peristiwa alam yang semakin berkembang, sedangkan contoh yang diberikan Rasul sangat sedikit karena usianya yang pendek , maka perlu seseorang berijtihat dari Al-Qur’an dan hadis itu untuk mengalirkan garis hokum baru pada peristiwa itu.
Hukum kewarisan islam pengertiannya terbatas pada peralihan harta dari yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup, semata-mata akibat meninggal dunia itu. Garis pokok-pokok hukum kewarisan islam ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dengan sunnah Rasullulllah.






DAFTAR PUSTAKA
Thalib, Sajuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Ed. 1, Cet. 8. (Jakarta: Sinar Grafika, 2004)
Thoyar, Husni, Al-Islam dan Kemuhamadiahan, (Yogyakarta: Mentari Pustaka, 2008)
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Pembagian Waris Menurut Islam, Cet. 9. (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
Ramulyo, Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata. Ed. 2. Cet. 1. (Jakarta: Sinar Grafika, 1994)
http://sshientha.blogspot.co.id/2012/07/ahli-waris-dan-sebab-sebab-kewarisan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar